Stevens-Johnson syndrome (SJS) atau
sindrom Stevens-Johnson dan
toxic epidermal necrolysis (TEN)[1][2] atau
nekrolisis epidermal toksik
adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh alergi atau infeksi. Sindrom
tersebut mengancam kondisi kulit yang mengakibatkan kematian sel-sel
kulit sehingga
epidermis mengelupas/memisahkan diri dari
dermis. Sindrom ini dianggap sebagai hipersensitivitas kompleks yang memengaruhi kulit dan selaput lendir.
Meskipun pada umumnya kasus sindrom ini tidak diketahui penyebabnya (
idiopatik),
biasanya penyebab utama yang paling sering dijumpai adalah akibat dari
alergi obat-obatan tertentu, infeksi virus dan atau keduanya, pada kasus
tertentu yang sangat jarang ditemukan sindrom ini berhubungan dengan
kanker.
Klasifikasi
Dalam dunia medis, sindrom Stevens-Johnson dapat dianggap dan disepakati sebagai bentuk ringan dari
nekrolisis epidermal toksik yang kondisi ini baru pertama kali diakui pada tahun 1922.
[2]
Sindrom Stevens-Johnson dan
nekrolisis epidermal toksik ini kadang dikelirukan dan tidak sama dengan
eritema multiforme/infeksi
herpes.
Walau eritema multiforme kadang-kadang disebabkan oleh alergi dan
reaksi terhadap obat, namun kasusnya lebih sering diakibatkan oleh
hipersensitivitas tipe III reaksi terhadap infeksi virus, yang kebanyakan diakibatkan oleh virus
Herpes simpleks
dan relatif lebih jinak. Meskipun sindrom Stevens-Johnson dan
nekrolisis epidermal toksik kadang pula disebabkan oleh infeksi, namun
penderitanya lebih sering diakibatkan oleh alergi dan efek samping dari
obat-obatan tertentu. Namun sindrom ini lebih berbahaya dibandingkan
dengan infeksi virus
herpes.
Gejala
Sindrom Stevens-Johnson biasanya dimulai dengan demam, sakit
tenggorokan, kelelahan, dan nyeri pada persendian. Kebanyakan penderita
salah didiagnosa dan diobati dengan antobiotik.
Ulkus dan lesi
(melepuhnya kulit) mulai muncul pada selaput lendir, hampir selalu di
daerah oral/mulut dan juga di daerah genital dan anal. Gejala ini sangat
menyakitkan dan bisa mengakibatkan menurunnya nafsu makan dan minum
bagi yang mengalami gejala di daerah mulut.
Konjungtivitis
mata terjadi sekitar 30% pada anak-anak penderita sindrom ini. Ruam
lesi/melepuhnya kulit muncul sekitar satu inci pada wajah, lengan dan
kaki dan juga telapak tangan, namun biasanya tidak muncul di bagian
kulit kepala.
[3]
Prognosis
Pada kasus yang tidak berat prognosisnya cukup baik, dan penyembuhan
terjadi sekitar kurun waktu 2 sampai 3 minggu. Kematian berkisar antara 5
sampai 15% pada kasus yang berat dengan berbagai
komplikasi
atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila
terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh
gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit,
bronkopneumonia, serta
sepsis.
[4][5]
Diagnosa
Diagnosa ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit,
mukosa,
mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis
terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada
mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain
pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji
resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik
biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan,
leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan
eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau
sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun beredar. Biopsi
kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada. Imunoflurosesensi direk
bisa membantu diagnosa kasus-kasus atipik.
[5][4]
0 komentar:
Posting Komentar