Pages

Jumat, 11 Januari 2013

terapi qolbu

Melampaui keserakahan diri”


"Kita selalu mengira mendapatkan keinginan itu merupakan kebahagiaan yang sesungguhnya".


Beberapa hari yang lalu kita di kejutkan oleh peristiwa meninggalnya seorang artis anak dari aktor pemain Rambo Sylvester Stallone yakni Sage Stallone (36th) yang terkenal saat main film Rocky bersama ayahnya, tewas di duga over dosis (www.jpnn.com, 14 Juli 2012). Beberapa bulan lalu lagi-lagi publik dikejutkan dengan tewasnya seorang diva dunia dalam kamar mandi salah satu hotel. Belakangan publik baru mengetahui bahwa sang diva ternyata telah lama addicted terhadap narkoba dan minuman keras.

Lalu dari dalam negeri setiap hari ada saja kabar negatif tentang para pengawal birokrasi yang berurusan dengan hukum. Total 173 kepala daerah  sedang menghadapi sidang sebagai saksi, tersangka atau terdakwa dalam kasus-kasus korupsi (Kompas, 17 April 2012).

Itu hanyalah sepenggal contoh dari kisah-kisah “tragis” anak manusia dalam bingkai yang berbeda, meski mereka sama- sama memiliki latar belakang kondisi finansial yang hampir di atas rata-rata penduduk Indonesia. Dari sini kemudian muncul pertanyaan, Apa yang membuat mereka tidak bisa bahagia dengan kekayaan yang berlimpah? Apa yang menyebabkan para kepala daerah itu mau berurusan dengan hukum kalau nominal pendapatannya sudah lebih dari masyarakat umum ? Lalu kegelisahan macam apa yang menyebabkan seorang aktor dan produser dunia yang pundi-pundi kekayaannya segunung, harus mengakhiri hidupnya dengan tragis? Pun dengan sang diva yang tiada diragukan lagi prestasi serta kepopuleran di masa jayanya, “apa yang membuatnya tersungkur dalam dunia obat-obatan terlarang dan minuman keras? Apakah justru kepopuleran itu sendiri penyebabnya, sesuatu yang diburu oleh banyak orang??” ... benar-benar paradoks.   

Jika mau jujur, bisikan hasrat dari dalam tiap jiwa adalah ingin memiliki apa yang dipunyai orang lain, betul tidak?  Kita berangan seandainya kita bisa mempunyai apa yang mereka punya, maka pastilah bahagia sentosa hidup kita. Kita terpesona akan dunia dan  meyakini bahwa memiliki kekayaan dan materi berlimpah merupakan sumber kebahagiaan hakiki.

Ego kita sebagai manusia seringkali bertutur, kita ingin menggenggam siang , tapi tidak menginginkan malam. Sementara faktanya siang dan malam silih berganti secara seimbang sesuai kaidah rotasi bumi. Analoginya kita selalu ingin bahagia tanpa mau menderita, kemudian demi menggapai bahagia itu kita rela melakukan segala macam cara. Padahal postulat hidup jelas menegaskan nasib itu ibarat roda, berotasi mengitari pusat kehidupan. Ada siang, ada malam. Ada bahagia, ada menderita.


Belum tua sudah pelupa


Persoalan mendasarnya sekarang adalah ingin hidup terus bahagia tanpa mau menderita. Falsafah keakuan seperti ini sudah pasti menentang kehidupan itu sendiri, di mana hidup mengenal ketidakkekekalan,  ada saatnya awan putih datang, ada waktunya ia pergi. Kita tak bisa terus menginginkannya ada di langit.


Ketika tiba waktunya bunga layu kemudian jatuh dari tangkainya tetapi kita menginginkannya untuk tetap bersemi, bukankah hal ini juga merupakan penyakit lupa (akan ketidakkekekalan segala sesuatu) yang telah lama menjangkiti hati kita?


Pertanyaan lain yang sering terlupakan  adalah setelah impian yang di kejar terpenuhi, apakah keinginan kita sudah habis? Tidak ada lagi ? Tentu sebagai manusia, kita pasti akan menjawab masih ada, dan yang mengejutkan keinginan itu justru cenderung bertambah besar. Setelah bisa membeli sepeda, ingin membeli motor, setelah itu terpenuhi muncul keinginan memiliki mobil, muncul lagi keinginan menaklukkan pasar, belum puas lagi, lantas ingin terjun menjadi penguasa, dst.


Kita selalu mengira mendapatkan keinginan itu merupakan kebahagiaan yang sesungguhnya, setelah mendapatkan ternyata bukan, kita mencarinya lagi dengan keinginan yang baru namun lagi lagi ternyata bukan kebahagiaan yang sesungguhnya yang di dapat.


Saat kita melihat dengan mata telanjang matahari bergerak dari timur ke barat dan tenggelam, belakangan tersadar setelah mengagumi terbitnya mentari kesana kemari ternyata matahari tidak bergerak kemana-mana.
Ini seperti mata pancing yang tertancap pada mulut ikan, siapa saja yang melekatkan kebahagiaan pada ha-hal di luar(materi, nama tenar, jabatan dll) dia sulit melepaskan diri. Marah, sakit hati, iri dengki adalah ekspresi dari kecanduan kemelekatan pada hal-hal di luar diri. Bak seekor kucing yang mencuri ikan asin saat tuan rumahnya tidak memberinya makan seperti yang biasa di berikannya, seperti itulah kecanduan kemelakatan kebahagiaan pada hal-hal di luar.
Kesadaran dari dalam


Melihat tumpukan persoalan dan masalah akibat kelupaan kita, kinilah saatnya kita mulai menumbuhkan kesadaran betapa berbahayanya melawan hukum kehidupan dengan terus meletakkan keinginan di atas segalanya yang berupaya kehidupan harus mengikuti keinginan dan banyak keinginan, bukankah kini saatnya kita mulai harus memindahkan alamat kebahagiaan yang bermula dari luar ke dalam, dari memimpikan enaknya menjadi pejabat dirubah menjadi betapa enaknya melayani masyarakat, dari memimpikan untuk dipuji karena kaya saatnya kini menumbuhkan perasaan menjadi diri sendiri.


Sadar bahwa kita bisa mengatur kebutuhan yang memang kita perlukan, kita tidak perlu lagi untuk melebihkan anggaran belanja sehingga tidak terjadi pemborosan dan bergaya yang tidak perlu.


Mengenai tumbuhnya kesadaran seperti ini tepat jika meminjam kata-kata indah dari Rumi : “Yesterday I was clever, so I wanted to changed the world. Now I am wise, so I am changing myself ”. Guru lain pernah mengatakan bahwa sebenarnya apa yang kita butuhkan hanyalah sedikit namun keinginan tidak memiliki batas yang membuat kebutuhan nampaknya sangat banyak dan rumit.


Sekarang kita sudah tahu apa yang menyebabkan pejabat berbohong kepada publik?, apa yang mendorong sampai 173 kepala daerah berurusan dengan hukum?, Maraknya korupsi dan banyak kejahatan lainnya tentu bentuk lain dari berbahayanya keinginan yang dijadikan tuan atau pemimpin.
Jika fokus pada hal-hal eksternal hanyalah bagaimana bisa mendapatkan dan banyak mengumpulkan piagam pujian, namun kebahagiaan di dalam dibangunkan dengan banyak melepaskan yang justru tidak semakin berkurang malahan semakin meningkat.


Diantara kita yang sudah mulai tersadar akan hal ini seringkali berucap: “ Seperti ada ruang yang sangat luas di dalam diri ketika memindahkan kebahagiaan dari luar ke dalam, memang di sana masih ada keinginan yang berbunyi namun sudah tidak bisa mengganggu lagi”.
Ibarat air yang mampu mencapai samudera dengan kelenturan dan kelembutan, kita hanya akan tersenyum diperjalanan ini sambil berbagi hingga sampai tujuan.


Seperti matahari yang terbit di pagi hari dan tenggelam di sore hari, kita yang sudah sadar dan melihat kebahagiaan di dalam (rasa cukup yang sudah di tumbuhkan) tidak mencari-cari matahari terbit di tempat yang jauh dan tinggi, karena saat terbit atau tenggelam di manapun sama indahnya.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

[Try us with Wibiya!] 1 2 3 4 5
[Try us with Wibiya!] 1 2 3 4 5

Blogroll

About